Sebagai negara yang meiliki luas hanya 1,3% dari luas daratan dunia, Indonesia termasuk negara yang memiliki kekayaan alam yang sangat luar biasa. Menurut para ahli hampir 17% satwa didunia terdapat di negeri tercinta ini. Indonesia memiliki kekayaan Mamalia nomor satu di dunia (515 jenis) dan menjadi habitat lebih dari 1539 jenis burung, dan sebanyak 45% ikan hidup di perairan Indonesia.
Indonesia juga menjadi habitat bagi satwa-satwa endemik atau
satwa yang hanya ditemukan di Indonesia saja. Jumlah mamalia endemik Indonesia
ada 259 jenis, kemudian burung 384 jenis dan ampibi 173 jenis (IUCN,
2013). Keberadaan satwa endemik ini sangat penting, karena jika punah di
Indonesia maka itu artinya mereka punah juga di dunia.
Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab terancam
punahnya satwaliar Indonesia, yaitu rusaknya habitat dan perdagangan satwa liar
secara ilegal.
Berkurangnya luas hutan menjadi faktor penting penyebab
terancam punahnay satwa liar Indonesia, karena hutan menjadi habitat utama bagi
satwa liar itu. Konversi hutan menjadi perkebunan sawit, tanaman industry dan
pertambangan menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar, termasuk satwa
langka seperti orangutan, harimau sumatera, dan gajah sumatera.
Kerusakan hutan di Indonesia merupakan
bagian dari upaya konversi lahan dari hutan alami menjadi hutan produksi.
Beberapa dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit dan tanaman industri
lainnya. Beberapa kawasan hutan berubah fungsi menjadi lahan pertambangan.
Keduanya menyebabkan kerusakan lingkungan secara permanen. Hutan buatan atau
hutan hasil penghijauan (reboisasi) tidak bisa mengembalikan habitat aslinya,
karena jenis pohon maupun tanamannya sudah berbeda dengan tanaman aslinya.
Lebih parah lagi, penghijauan ternyata tidak selalu sukses dilaksanakan di
semua tempat, sehingga mendorong munculnya tanaman-tanaman yang tidak bisa
menopang habitat alami sebelumnya. Dampak negatif dari konversi hutan tersebut
memunculkan anggapan apabila satwa-satwa liar dianggap sebagai hama, sehingga
di beberapa tempat sering dimusnahkan. Beberapa bulan yang lalu ditemukan
banyak kasus pembantaian orang utan (Pongo pygmaeus) di Kalimantan
(Indonesia) oleh pemilik perusahaan pengelola perkebunan kelapa sawit.
Aktivitas manusia lainnya yang cukup
mengancam keberadaan satwa liar adalah perburuan dan perdagangan hewan. Menurut
CITES, Indonesia termasuk negara yang memberikan kontribusi cukup besar dalam
perdagangan organ satwa liar di dunia. Perdagangan organ satwa liar
diperuntukkan untuk memasok perdagangan obat tradisional, makanan khas, dan
aksesoris (termasuk bulu/kulit binatang). Harga organ-organ satwa liar tersebut
sangat tinggi di pasaran pengecer. Misalnya saja seperti empedu Harimau
Sumatera bisa lebih tinggi dari harga emas (logam mulia). Harimau Sumatera
termasuk yang paling banyak mendapatkan perhatian oleh CITES, karena hampir
sebagian besar organ tubuhnya bisa diperdagangkan dengan harga yang sangat
tinggi. Bagian organ yang cukup banyak pula diperdagangkan dan harganya sangat
tinggi adalah organ untuk keperluan aksesoris, seperti kuku, taring (gigi),
gading (termasuk cula badak), bulu, dan kulit. Beberapa jenis hewan yang masih kecil
akan diperdagangkan dengan harga yang cukup tinggi pula. Beberapa jenis lagi
yang memiliki kategori unik akan dijual utuh, seperti burung Cendrawasih,
burung Kakatua, burung Jalak, dan lain sebagainya. Seluruh satwa liar yang
masuk ke dalam daftar merah (Red List) IUCN kebanyakan bukan jenis yang mampu
untuk dibudidayakan (dikembangbiakkan tanpa habitat alaminya).
Perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi
kelestarian satwa liar Indonesia. Lebih dari 95% satwa yang dijual di pasar
adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Berbagai jenis satwa
dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia.
Semakin langka satwa tersebut makan akan semakin mahal pula harganya.